BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir Falsafi berarti Penjelasan
tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata,
serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar
didapat satu kebenaran yang rasional.
Tafsir Falsafi sangat bertentangan
dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari
pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan
agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir
dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam
tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya
wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka
membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang
dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas A1 Quran yang tertentu
dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
Falsafi
1.
Pengertian
Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi menurut Quraisy
Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat.[1]
Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai
paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini
berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan
persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori
filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi,
seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.[2] seperti
tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut
Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.[3]
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan
pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi
sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui
penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban
umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang
dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut
pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah
berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi
dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas
serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah
tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat
Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta
intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun
terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga
sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut,
muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak
penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan
tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia
dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir
pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang
cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan
karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan
aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu
kemampuannyamembangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi)
yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi
kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[4]
Dari pemahaman tersebut tidak tidak
terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir
falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya
berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian
pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al
Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di
mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang
logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin
harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita
belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis,
kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan
dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat
bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita
nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama
aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas,
radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil
penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut
dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya.
Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada
tafsir lain.
2.
Sejarah
Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan
science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah
kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab
digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang
diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti Aristoteles
dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua
golongan, sebagai berikut:
1)
Golongan pertama menolak ilmu-ilmu
yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Mereka tidak mau
menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara yang bertentangan
dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku
itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya,
membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan
menjauhkannya dari kaum muslimin.[5]
Di antara yang bersikap keras dalam
menyerang para filosof dan filsafat adalahHujjah al-Islam al-Imam Abu
Hamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan
kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Demikian
pula Imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka
dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai
bertentangan dengan agama dan al-Qur’an.
2)
Sebagian ulama Islam yang lain,
justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak
bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara
filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.
Golongan ini hendak menafisrkan
ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi
mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung
teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
DR. Muhammad Husain Al-Dzahabi,
menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar ada
seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang
satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak
lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang
berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[6]
B.
Tafsir Sufi
1.
Pengertian
dan Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
Dalam tradisi ilmu tafsir klasik,
tafsir bernuansa tasawuf atau juga sufistik sering didefinisikan sebagai suatu
tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari sudut esotorik
atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam
suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Dr. Muhammad Husen adz Dzahabi adalah
transmisi jiwa menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan kata lain
munajatnya hati dan komunikasinya ruh.
Tafsir al-Shufiyah, yakni tafsir
yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsir
shufi nadzary dan tafsir shufi isyary. Tafsir sufi
nazary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi
(penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.[7] Tafsir
sufi isyary adalah tafsir yang di dasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si
penulis seperti tafsir al-Qur`an al-Adzim karya al-Tustari, Haqâiq
al-Tafsîr karya al-Sulami dan Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur`an karya
al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa
syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan
syareat/ rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi
syarat ini, maka ditolak.[8]
Klaim sebagai pengemban
risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi
mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai
tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik
yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai
kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat
kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan
nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus)
ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai
oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman
nanti.[9]
Walhasil, dalam penafsiran
sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan
i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada
menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara
simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan
mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab
kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna
mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi. Contoh karya yang
menampilkan corak tafsir sufi adalahTafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Sahl
al-Tustari (w.283 H). Haqa’iq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman
al-Sulami (w.412 H). Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan
‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an karya al-Syirazi (w.606).
Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby
berkata: “kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu
tentang tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Qur’an
sepertti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan
makna-makna yang diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an). Yang kami temukan adalah
keterangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu)
yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn Araby dan
kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian
yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak
penafsirannya berbeda-beda”.
Mereka berkata, tafsir sufi dapat
diterima jika memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:
1. Tidak
menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Qur’an.
2. Penafsiran
itu diperkuat oleh dalil Syara’ yang lain.
3. Penafsiran
itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau ratio.
4. Penafsirannya
tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki
oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui
pengertian tekstual dari ayat, sebagaimana penegasan Imam Al-Alusy.[10]
Di antara kitab-kitab tentang tafsir
Sufi adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, karangan Imam Al-Tustury.
2. Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Allamah Al-Sulamy.
3. ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an, karangan Imam Al-Syirazy.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tafsir
falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada
juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menggunakan teori-teori filsafat. Dalam menyikapi penerjemahan buku-buku
asing ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah Abbasiyah, ulama Islam terbagi
kepada dua golongan: Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari
buku-buku karangan para filosof tersebut. Golongan kedua justru mengagumi
filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan
dengan dengan norma-norma (dasar) Islam.
Tafsîr
al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi
dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr
shûfi isyary. Tafsir sufi nazary adalah tafsir yang didasarkan
atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini
tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang di dasarkan atas pengalaman
pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsir al-Qur`an al-Adzim karya
al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan Arais al-Bayan fi Haqaiq
al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi
isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i
yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syareat/ rasio, (3) tidak menafikan
makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.
Jadi antara tafsir falsafi dengan tafsir
sufi sangat erat hubungannya. Keduanya sama-sama didasari dengan fisafat tapi
halnya tafsir sufi terbagi dalam dua bagian dan harus memenuhi beberapa syarat
tersebut.
B.
Saran
Untuk lebih hati-hatinya kita
mempelajari tafsir fasafi hanya sebagai pengetahuan saja karna sebagian ulama’
menganggap tafsir falsafi ini sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan
penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila
dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Syihab, Quraisy,dkk. Sejarah
dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999.
al-Dzahabi , M. Husein. Kitâb
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut: 1995.
Hidayat, Komaruddin. Memahami
Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta: 1996.
Hasan al Aridl, Ali. Sejarah dan Metodologi
Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994.
[1]
Quraisy Syihab dkk, Sejarah
dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999, hlm. 182
[2]
M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut: 1995, Jilid I, hlm. 419
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,
Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta: 1996, hal. 215
[5] Ali Hasan al Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994, hal. 61
[9]
Abu Zayd, Hakadza Takallama
Ibn Arabi, Markaz Dirasat, Beirut, t.th, hlm.54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar