اجهد ولا يتكسل ولا تكن غافلا فندمت العقبى لمن يتكاسل

Bersungguh-sungguhlah dan Jangan Bermalas-malasan, Karena Sesungguhnya Penyesalan itu Hanya Bagi Orang yang Bermalas-malasan

Sabtu, 26 Oktober 2013

Makalah Tafsir Falsafi

BAB I
PENDAHULUAN

Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional.
Tafsir Falsafi sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas A1 Quran yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Tafsir Falsafi
1.      Pengertian Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.[1] Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.[2] seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.[3]
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannyamembangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[4]
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.



2.      Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua golongan, sebagai berikut:
1)       Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara yang bertentangan dengan aqidah dan agama.  Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin.[5]
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalahHujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Demikian pula Imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an.
2)       Sebagian ulama Islam yang lain, justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.
Golongan ini hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
DR. Muhammad Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[6]

B.   Tafsir Sufi
1.      Pengertian dan Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
Dalam tradisi ilmu tafsir klasik, tafsir bernuansa tasawuf atau juga sufistik sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Dr. Muhammad Husen adz Dzahabi adalah transmisi jiwa menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan kata lain munajatnya hati dan komunikasinya ruh.
Tafsir al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsir shufi nadzary dan tafsir shufi  isyary. Tafsir sufi nazary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.[7] Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang di dasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsir al-Qur`an al-Adzim karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syareat/ rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.[8]
Klaim sebagai pengemban risalah akhlakiyah memberi peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para rasul dan nabi yang menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.[9]

 Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriahnya seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang dipahami oleh kalangan sufi. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalahTafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H). Haqa’iq al-Tafsir karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w.412 H). Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an karya al-Syirazi (w.606).
Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata: “kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Qur’an sepertti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-makna yang diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an). Yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu) yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada  Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”.
Mereka berkata, tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:
1.       Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Qur’an.
2.       Penafsiran itu diperkuat oleh dalil Syara’ yang lain.
3.       Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau ratio.
4.       Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat, sebagaimana penegasan Imam Al-Alusy.[10]
Di antara kitab-kitab tentang tafsir Sufi adalah sebagai berikut:
1.       Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, karangan Imam Al-Tustury.
2.       Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Allamah Al-Sulamy.
3.       ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an, karangan Imam Al-Syirazy.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Dalam menyikapi penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah Abbasiyah, ulama Islam terbagi kepada dua golongan: Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Golongan kedua justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam.
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi  isyary. Tafsir sufi nazary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang di dasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsir al-Qur`an al-Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur`an karya al-Syairazi.  Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syareat/ rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.
Jadi antara tafsir falsafi dengan tafsir sufi sangat erat hubungannya. Keduanya sama-sama didasari dengan fisafat tapi halnya tafsir sufi terbagi dalam dua bagian dan harus memenuhi beberapa syarat tersebut.

B.   Saran
Untuk lebih hati-hatinya kita mempelajari tafsir fasafi hanya sebagai pengetahuan saja karna sebagian ulama’ menganggap tafsir falsafi ini sangat bertentangan dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat.



DAFTAR PUSTAKA

Syihab, Quraisy,dkk. Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999.
al-Dzahabi , M. Husein. Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut: 1995.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta: 1996.
Hasan al Aridl, Ali.  Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994.




[1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999, hlm. 182
[2] M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut: 1995, Jilid I, hlm. 419
[3] Ibid., Jilid II, hlm.431
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta: 1996, hal. 215
[5] Ali Hasan al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada,  Jakarta: 1994, hal. 61
[6] Ibid., hlm. 62
[7] M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid II, hlm. 346
[8]  Ibid., hlm. 377
[9] Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibn Arabi, Markaz Dirasat, Beirut, t.th, hlm.54
[10] M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz III, hlm. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BELAJAR YUKK